7 research outputs found
Peranan Badan Pendapatan Daerah Dalam Meningkatan Pendapatan Asli Daerah Melalui Pajak Parkir (Di Kota Semarang)
Era otonomi daerah yang secara resmi mulai diberlakukan di Indonesia sejak 1 januari 2001 menghendaki daerah untuk berkreasi dalam mencari sumber penerimaan yang dapat membiayai pengeluaran pemerintah dan pembangunan. Setiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri untuk meningkatkan efesiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menyelenggarakan pemerintahan tersebut, daerah berhak menggenakan pungutan terhadap masyarakat.
Dalam rangka pencapaian pelayanan dan pelaksanaan pembangunan secara efektif dan efisien, maka setiap daerah harus secara kreatif mampu menciptakan dan mendorong semakin meningkatnya sumber – sumber pendapatan asli daerah. Salah satu sumber – sumber Pendapatan Asli Daerah yang potensial adalah dari sektor jasa perparkiran.
Disini penulis melakukan penelitian di Kota Semarang, terkait tentang peranan Badan Pendapatan Daerah dalam meningkatkan Pendapatan Asli Daerah melalui pajak parkir yang diatur dalam Peraturan Daerah Kota Semarang Nomor 10 Tahun 2011 tentang Pajak Parkir. Di dalamnya mengatur tentang dasar pengenaan, tarif dan tata cara perhitungan pajak dan sanksi – sanksi administrasi.
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan metode penelitian yuridis sosiologis untuk mendapatkan penjelasan mengenai permasalahan yang diangkat oleh penulis.
Dalam rangka pemungutan pajak parkir untuk dapat mencapai target serta agar dapat berkontribusi besar bagi PAD. Bapenda Kota Semarang sendiri juga berperan dengan cara a. memperluas basis penerimaan, b. Menerjunkan petugas untuk melakukan survey ke lapangan, c. Memperbaiki basis data objek, d. Memperkuat proses pemungutan, e. Meningkatkan pengawasan, f. Meningkatkan efisiensi administrasi, g. Meningkatkan kapasitas penerimaan melalui perencanaan yang lebih baik.
Hambatan yang dihadapi oleh Bapenda dalam rangka pemungutan pajak parkir dibagi menjadi dua bagian yaitu faktor internal dan eksternal. Faktor internal meliputi Terbatasnya jumlah tenaga fiskus yang tidak sebanding dengan jumlah wajib pajak & dalam hal pengawasan, terbatasnya jumlah tenaga fiskus menyebabkan pengawasan dari Bapenda ini kurang, sehingga banyak didapati kecurangan wajib pajak dalam melaporkan besarnya pajak.Sedangkan untuk Faktor eksternal yaitu dari wajib pajak itu sendiri dalam kesadaran membayar pajak masih kurang & banyak wajib pajak yang berdomisili di luar kota.
Kata kunci: Pajak Parkir, Badan Pendapatan Daerah, Pendapatan Asli Daera
‘NOT A RELIGIOUS STATE’ A study of three Indonesian religious leaders on the relation of state and religion
This article explores the concept of a ‘secular state’ offered by three
Indonesian religious leaders: a Catholic priest, Nicolaus Driyarkara
(1913–1967), and two Muslim intellectuals who were also state
officials, Mukti Ali (1923–2004) and Munawir Sjadzali (1925–2004).
All three, who represented the immediate generation after the
revolution for Indonesian independence from the Dutch (1945),
defended the legitimacy of a secular state for Indonesia based on
the state ideology Pancasila (Five Principles of Indonesia). In doing
so, they argued that a religious state, for example an Islamic state,
is incompatible with a plural nation that has diverse cultures,
faiths, and ethnicities. The three also argued that the state should
remain neutral about its citizens’ faith and should not be
dominated by a single religion, i.e. Islam. Instead, the state is
obliged to protect all religions embraced by Indonesians. This
argument becomes a vital foundation in the establishment of
Indonesia’s trajectory of unique ‘secularisation’. Whilst these three
intellectuals opposed the idea of establishing a religious or Islamic
state in Indonesia, it was not because they envisioned the decline
of the role of religion in politics and the public domain but rather
that they regarded religiosity in Indonesia as vital in nation
building within a multi-religious society. In particular, the two
Muslim leaders used religious legitimacy to sustain the New
Order’s political stability, and harnessed state authority to
modernise the Indonesian Islamic community
Driyarkarasi Jenthu : Napak tilas filsuf pendidik (1913-1967)
"Romo Drijarkara mungkin juga korban ketidakpedulian kita, yang oleh sistem pendidikan tak diajari membaca untuk bertanya tentang sesama manusia dan apa karyanya. Kita tak punya rasa penasaran akademis yang menggoda, untuk bertanya, apa yang dikerjakan orang lain, apa komitmen intelektual utamanya. Maka. filsuf terkemuka ini kita biarakan perti, tanpa kita ketahui jejaknya. buku ini berjasa menebus dosa kita."xxx + 252 hlm.; illus. 18,5 x 21 c
