1,435 research outputs found
Dampak Manisan terhadap Ekonomi Masyarakat di Kabupaten Cianjur
Di setiap daerah pasti mempunyai menu makanan khas sendiri, menu makanan khas ini timbul dari lingkungannya sendiri, dan dapat dipastikan tidak diketahui asal mula pembuatnya, yang pasti pembuatan menu makanan tersebut merupakan warisan yang turun temurun, begitu juga dengan pengrajin makanan khas Cianjur. Pengrajin makanan khas Cianjur bukan hanya buah-buahan sebagai bahan pokok pembuatan manisan, tetapi bisa juga dari bahan pokok sayuran. Ada beberapa yang termasuk kedalam makanan khas Cianjur, di antaranya adalah Manisan Sayuran Sawi. Manisan Kedondong, Manisan Canar, Manisan Salak, Manisan Rumput Laut, Manisan Jambu Biji, Manisan Pala, dan lain-lain. Pada awalnya semua jenis makanan khas Cianjur merupakan konsumsi masyarakat dengan status sosial menengah kebawah, tetapi pada saat ini semua jenis makanan khas Cianjur tersebut sudah merupakan konsumsi semua lapisan masyarakat. Hal ini ditandai bukan hanya dijual di toko-toko tetapi sudah masuk ke supermarket-supermarket yang ada di Cianjur, bahkan banyak juga yang memakai sebagai menu pelengkap dalam rangka hajatan di hotel-hotel berbintang. Alasan dilakukannya penelitian ini adalah sebagai upaya untuk mendapatkan informasi yang lebih dalam tentang manisan Cianjur. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dan metoda wawancara. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa manisan Cianjur cukup mengalami perkembangan baik dari segi bahan maupun pemanfatannya
Penanaman Nilai Budaya melalui Permainan Anak di Kabupaten Garut
Penelitian yang berjudul Penanaman Nilai Budaya melalui Permainan anak di Kabupaten Garut ini, bertujuan mengkaji nilai-nilai budaya yang terkandung dalam permainan. Pengakajian nilai-nilai budaya ini menggunakan metode deskriptif analisis. Apabila kita amati tentang jenis-jenis permainan anak dewasa ini, keberadaannya sudah kurang diminati bahkan kurang mendapat perhatian dari masyarakat pemiliknya, namun bila kita mendalami unsur-unsur yang terkandung dalam permainan anak-anak tersebut, banyak sekali nilai-nilai filosofis dan kearifan lokal yang tertanam dalam permainan anak, nilai budaya tersebut salah satunya adalah bentuk ketahanan budaya. Selain itu dalam permainan anak-anak itu banyak sekali nilai-nilai pembelajaraan yang bersifat demokratis (keadilan dan penerapan sanksi bagi yang melanggar) dan untuk belajar memulai kehidupan sosial anak (nilai untuk kerjasama dan menumbuhkan hasrat untuk berpikir dan berstrategi) dan belajar menjadi seorang pemimpin
Nilai Estetika dalam Sisingaan di Kabupaten Subang
Sisingaan merupakan salah satu jenis kesenian khas Kabupaten Subang. Keberadaannya muncul ketika bangsa Indonesia sedang dijajah oleh Belanda. Fakta sejarah ini berdasar pada konsep awal pembentukan berdirinya kesenian sisingaan yang filosofinya bersifat patriotisme. Pada waktu itu, keberadaan kesenian ini merupakan wujud perlawanan rakyat Kabupaten Subang terhadap penjajahan Belanda. Dalam perkembangannya banyak mengalami Perubahan, baik dalam bentuk boneka singanya maupun dalam bentuk pertunjukannya. Adanya Perubahan ini selain mencari bentuk yang sempurna juga mengikuti perkembangan zaman. Pengumpulan data tentang kesenian ini menggunakan metode deskriptif. Penggunaan metode ini untuk mengambarkan keberadaan sisingaan pada saat ini. Kesenian sisingaan merupakan jenis kesenian pertunjukan yang dilaksanakan dalam bentuk pawai atau arak-arakan. Pertunjukannya biasanya dilakukan dalam kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan hajatan. Sisingaan ini memiliki nilai estetika yang cukup tinggi. Nilai estetika tersebut berhubungan dengan pengalaman indah yang dihasilkan oleh daya estetika yang memberikan kesenangan batin, seperti terkandung dalam gerak tari, harmoninasi irama, dan perpaduan warna, baik perpaduan warna dalam boneka singa maupun perpaduan dalam warna kostum para pemain. Kreasi pertunjukan yang digelar dalam bentuk arak-arakan ini, mengkolaborasi perpaduan gerak tari, tempo dalam irama, dan estetika dalam boneka singa yang menambah suasana hiburan bagi masyarakat yang cukup menyenangkan. Selain itu, nilai estetika terkandung pula dalam unsur kebersamaan sebagai masyarakat agraris. Asas ini sejalan dengan nilai-nilai yang sudah tertanam dalam jiwa budaya masyarakat Indonesia, khususnya nilai budaya masyarakat Jawa Barat
High prevalence of undiagnosed axial spondyloarthritis in patients with chronic low back pain consulting non-rheumatologist specialists in Belgium : SUSPECT study
Introduction: Diagnosis of axial spondy loarthritis (SpA) can be delayed for several years mainly because of low awareness of axial SpA among non-rheumatologists who are the first interlocutors of potential SpA patients. One strategy to decrease the delay between appearance of first symptoms and diagnosis of axial SpA and to allow early management of the disease is to provide the non-rheumatologists with tools to identify patients requiring prompt referral to rheumatologists. This study was designed to evaluate in a real-world setting whether screening patients with chronic low back pain who consult physical medicine and rehabilitation (PMR) physicians, orthopedists, and ophthalmologists is useful in detecting axial SpA.
Methods: During this non-interventional cross-sectional study, data from 161 patients with chronic back pain, consulting an orthopedist, PMR physician, or ophthalmologist were collected during a single visit. Any patient who presented with at least four out of five symptoms of inflammatory back pain (IBP) and at least one additional SpA feature were to be referred to a rheumatologist. Analysis was purely descriptive.
Results: IBP was diagnosed in approximately half of the patients (89 patients) and 72 of them met the referral criteria. A total of 117 patients were finally referred to a rheumatologist and axial SpA was diagnosed for 37 of them.
Conclusions: The high prevalence of undiagnosed axial SpA in patients with chronic back pain visiting PMR physicians, orthopedists, and ophthalmologists suggests that these healthcare professionals may play a key role in the strategy developed to shorten the delay observed in the formal diagnosis of SpA
Abundance, size structure and community composition of phytoplankton in the Southern Ocean in the austral summer 1999/2000
The abundance, size structure and community composition of phytoplankton in the Southern Ocean were studied, using flow cytometry, microscopy and pigment profiles on two transects one latitudinal (N) and one longitudinal (W) during December 1999 and January 2000. In both transects, the concentration of autotrophic eukaryotes of 2-10μm equivalent spherical diameter (ESD) commonly exceeded those10μm ESD were detected by flow cytometry (however microscopy showed cells>10μm in length). Throughout transect N, chlorophyll α concentrations were generally. South of the Antarctic Polar Front (APF), chlorophyll α concentrations increased southward. CHEMTAX allocation of pigment data (italicized) showed that Diatoms contributed most chlorophyll with Haptophytes sub-dominant. North of the APF, chlorophyll α concentrations tended to increase northward. Here, Haptophytes contributed most chlorophyll, followed by Diatoms, Chlorophytes and Cyanobacteria, except at the northernmost stations where Cyanobacteria dominated. In transect W, chlorophyll α concentrations were also in most cases, but variable. Higher concentrations occasionally occurred in the west. In this transect, Diatoms contributed most (mean=61±15%) of the chlorophyll α, followed by Haptophytes. Nanodiatoms (particularly Fragilariopsis spp.) numerically dominated the diatom community. Fecal pellets composed of these nanodiatoms were observed in the Antarctic water, probably originating from heterotrophic dinoflagellates, implying a significant contribution of nanodiatoms to the microbial food web. However they contributed little to total chlorophyll α and diatom carbon biomass, particularly when chlorophyll and carbon concentrations were high
A graphene transmon operating at 1 T
A superconducting transmon qubit resilient to strong magnetic fields is an
important component for proposed topological and hybrid quantum computing (QC)
schemes. Transmon qubits consist of a Josephson junction (JJ) shunted by a
large capacitance, coupled to a high quality factor superconducting resonator.
In conventional transmon devices, the JJ is made from an Al/AlO/Al tunnel
junction which ceases operation above the critical magnetic field of Al, 10 mT.
Alternative junction technologies are therefore required to push the operation
of these qubits into strong magnetic fields. Graphene JJs are one such
candidate due to their high quality, ballistic transport and electrically
tunable critical current densities. Importantly the monolayer structure of
graphene protects the JJ from orbital interference effects that would otherwise
inhibit operation at high magnetic field. Here we report the integration of
ballistic graphene JJs into microwave frequency superconducting circuits to
create the first graphene transmons. The electric tunability allows the
characteristic band dispersion of graphene to be resolved via dispersive
microwave spectroscopy. We demonstrate that the device is insensitive to the
applied field and perform energy level spectroscopy of the transmon at 1 T,
more than an order of magnitude higher than previous studies.Comment: attached supplementary materia
Kajian kearifan lokal di kampung Kuta kabupaten Ciamis
Dalam wacana-wacana kcbudayaan, terutama yang membincangkan masa lah lingkungan alam, manusia dan kebudayaan, terdapat dua permasalahan pokok, yakni : pertama, bagai mana suatu kondisi lingkungan alam mempengaruhi perkembangan kebudayaan suatu masyarakat; dan yang kedua, bagaimana peranan suatu kebudayaan dalam menjaga kelesta rian dan keseimbangan ekosistem
Modal Truth : Integrating the Metaphysics, Epistemology, and Semantics of the Necessary and the Possible
The integration challenge for modality states that metaphysical theories of modality tend to fail in one of two ways: either they render the meanings of modal sentences mysterious, or they render modal knowledge mysterious. I argue that there are specific semantic and epistemic constraints on metaphysics implied by the integration challenge and that a plausible metaphysical theory of modality will satisfy both of them. I further argue that no popular metaphysical theory of modality simultaneously satisfies both of the constraints. Therefore, a new metaphysical theory of modality is needed, one that can offer a clear response to the integration challenge. I attempt to supply the needed theory and show that it satisfies the constraints of the integration challenge. The overall result is an argument for a new and unique metaphysical theory of modality that I call constructionism
- …
