41 research outputs found
Kajian Aplikasi Kebijakan Hutan Kota di Kalimantan Timur
Dalam rangka mendukung upaya pengembangan dan pengelolaan hutan kota diperlukan sebuah tindakan dari pengawasan legal. Pemerintah telah mendukung USAha-USAha ini dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah No.63/2002 tentang hutan kota dan kebijakan teknis berupa Peraturan Menteri Kehutanan No. P.71/2009 tentang pedoman penyelenggaraan hutan kota. Hasil penelitian pada empat kota di Kalimantan Timur (Samarinda, Balikpapan, Bontang dan Tarakan) menunjukkan bahwa, dasar legal (lingkup dan penegakan hukum) lebih banyak tentang rencana tata ruang wilayah sebagai isu strategis. Sebagai derivasi dari peraturan nasional, peraturan daerah diharapkan mendukung di dalam upaya pengembangan dan pengelolaan hutan kota pada level regional. Pemerintah daerah dapat mengeluarkan peraturan daerah untuk petunjuk teknis dalam strategi jangka pendek. Hingga tahun 2011, hanya kota Tarakan yang telah menetapkan peraturan daerah tentang hutan kota, tetapi semua kota tersebut telah menetapkan lahan berhutan sebagai hutan kota dari wilayah perkotaan meskipun belum mencapai target 10 persen. Selain itu, kebanyakan peraturan daerah dari empat kota tersebut relatif sedikit memberi perhatian bagi kebijakan kepemilikan lahan swasta. Dalam kajian ini, peraturan daerah tentang hutan kota yang ada di Kalimantan Timur dikaji, termasuk aspek hukum serta para pihak dan peranannya dalam pengelolaan hutan kota
Kajian Kebijakan Hutan Kota: Studi Kasus di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (DKI)
Wilayah Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta merupakan salah satu daerah rawan bencana banjir dengan naiknya tinggi permukaan air laut akibat pemanasan global. Kondisi ini bertambah buruk dengan semakin menyusutnya ruang terbuka hijau (RTH) dari sekitar 35 persen (1965) menjadi sekitar 9,3 persen (2009). Oleh karena itu kajian kebijakan pembangunan hutan kota di DKI Jakarta sanagt diperlukan sebagai proses pembelajaran bagi para pengelola perkotaan di Indonesia. Kajian ini bertujuan untuk mengevaluasi pelaksanaan kebijakan pembangunan hutan kota yang dilakukan oleh pemerintah daerah (Pemda) provinsi DKI Jakarta. Hasil kajian menunjukkan bahwa pembangunan hutan kota merupakan suatu keniscayaan bagi pemda DKI Jakarta untuk mengurangi tingkat kerentanan terhadap bencana banjir dan sekaligus memperindah dan menjaga keasrian lingkungan perkotaan. Sejak keluarnya PP No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota dan UU No. 26 Tahun 2007 tentang Tata Ruang, pemda DKI Jakarta belum membuat peraturan-peraturan daerah terkait, tetapi sudah banyak upaya-upaya yang direalisasikan untuk mendukung pembangunan hutan kota melalui peningkatan luas RTH. Pemda DKI Jakarta terus berupaya meningkatkan luasan RTH secara konsisten dengan membongkar 93 bangunan di tepi sungai Kalibaru dan menutup 27 stasiun pengisian bahan bakar untuk umum(SPBU) yang berlokasi di jalur hijau dan mengalihfungsikannya sebagai RTH. Sumber-sumber pendanaan yang yang dapat dikumpulkan oleh Pemda DKI Jakarta untuk membiayai perluasan RTH adalah APBD, APBN, Pajak dan dana CSR dari Perusahan besar nasional dan multi nasional yang berkantor pusat di Jakarta serta lembaga donor Internasional yang peduli lingkungan
Analisis Cadangan Karbon Pohon pada Lanskap Hutan Kota di DKI Jakarta
Meningkatnya persoalan lingkungan, seperti polusi udara dan peningkatan suhu di DKI Jakarta menyebabkan keberadaan hutan kota sangat penting. Pohon memiliki peran penting karena berfungsi sebagai penyimpan karbon dan penyerap karbon paling efesien di perkotaan. Hutan kota di DKI Jakarta memiliki persoalan dalam pengembangannya, selain aspek teknis juga dipengaruhi oleh aspek kebijakan hutan kota. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian ini dengan tujuan: (1) menganalisis cadangan karbon, nilai serapan CO , dan jenis pohon hutan kota yang memiliki cadangan karbon potensial, dan (2) menganalisis faktor kebijakan yang perlu mendukung pengembangan hutan kota. Penelitian dilakukan di DKI Jakarta dengan fokus pada tiga hutan kota, yaitu hutan kota Universitas Indonesia, Srengseng dan PT JIEP. Analisis cadangan karbon dilakukan melalui pendekatan allometrik dan analisis faktor kebijakan hutan kota dengan pendekatan (AHP). Jumlah cadangan karbon pohon terbesar terdapat pada hutan UI yaitu 178,82 ton/ha, Srengseng 24,04 ton/ha dan PT JIEP 23,64 ton/ha. Nilai serapan CO terbesar dihasilkan dari hutan kota UI yaitu 634,40 ton/ha, Srengseng 88,15 ton/ha dan PT JIEP 86,76 ton/ha. Sumbangan cadangan karbon pohon terbesar dihasilkan dari pohon famili Fabaceae, antara lain yaitu A. Cun Ex Benth Willd Boj. Ex Hook Willd dan Prioritas kebijakan yang mendukung pengembangan hutan kota pada level faktor adalah peningkatan kualitas hutan kota, level aktor adalah pemerintah dan level alternatif adalah evaluasi peraturan dan perluasan hutan kota
Pemanfaatan Jasa Lingkungan di Hutan Desa Buntoi, Kecamatan Kahayan Hilir, Kabupaten Pulang Pisau, Provinsi Kalimantan Tengah
Hutan Desa (HD) merupakan hutan negara yang tidak dibebani hak dan dikelola oleh desa untuk kesejahteraan desa. Desa yang memiliki HD bertanggung jawab atas pemanfaatan sumber daya hutan secara lestari. Pengembangan HD di desa Buntoi masih dalam tahap awal sehingga perlu dilakukan penggalian potensi dari berbagai aspek seperti aspek jasa lingkungan, kebijakan dan kelembagaan, dan potensi mata pencaharian yang berkelanjutan. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menganalisis potensi jasa lingkungan beserta faktor-faktor yang memengaruhi dalam pengembangannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan jasa air di Desa Buntoi selama ini hanya mengandalkan air sungai yang berwarna coklat karena tidak memiliki sumber mata air. Secara bentang alam tidak ditemukan areal yang khas untuk dapat menarik kedatangan wisatawan, akan tetapi potensi keanekaragaman hayati dan penyerapan karbon di HD kurang optimal dimanfaatkan untuk menarik wisatawan. Ketidakoptimalan pemanfaatan jasa lingkungan di HD Buntoi disebabkan oleh: (1) Persepsi masyarakat lokal yang belum mendukung pemanfataan jasa ekosistem; dan (2) Kurangnya dukungan dari pemerintah daerah dalam pemanfaatan jasa ekosistem di hutan desa. Adapun kegiatan yang dapat dikembangkan untuk memanfaatkan keanekaragaman hayati, keindahan bentang alam, dan konservasi karbon di desa hutan yaitu ekowisata danprogram pengurangan emisi berbasis REDD+
Influence of temperature on microstructure, structural and ferroelectricity evolution properties with nano and micrometer grain size in multiferroic HoMnO3 ceramics
The influence of temperature on microstructural, structural and ferroelectric evolution properties of multiferroic holmium manganese oxide (HoMnO3) ceramics were investigated. HoMnO3 ceramics were synthesized using a mechanochemical reaction of Ho2O3 and Mn2O3 powders in a high energy ball milling machine. The powder were sintered from 600 to 1250 °C with 50 °C increments. The results shows the microstructural, structural and ferroelectric hysteresis loop were observed to be dependent on sintering temperatures. The XRD characterization suggests an improvement of crystallinity with increasing sintering temperature. The hexagonal HoMnO3 were observed at temperature ≥1200 °C with the grain size of around 1600 nm. SEM micrographs showed larger grain size as the sintering temperature increased. The SEM results revealed a transformation of crystal structure occurs from orthorhombic to hexagonal at larger grain size regime. Polarization P—electric field E ferroelectric properties were observed to be enhanced with the increase of grain size through sintering temperature. The ferroelectric behavior was observed to change with the change of microstructure along with the structure transformation from orthorhombic to hexagonal. A complete systematic studies of the micron-nanometer grain size on microstructure-properties evolution of HoMnO3 multiferrroic ceramics is higlighted
Evolution of microstructural and mechanical properties of nanocrystalline Co2FeAl Heusler alloy prepared by mechanical alloying
Mechanical alloying (MA) has been used to fabricate the Co2FeAl Heusler alloy
with a nanocrystalline structure. The formation mechanism of the alloy has been
investigated. Rietveld analysis showed that all samples that were milled for
more than 15 hours had an L21 structure with a space group of Fm3m. The
crystallite size and internal strain of the samples were calculated using the
Williamson-Hall equation. With mechanical alloying of up to 20 hours the
crystallite size of Co2FeAl increased, after which the crystallite size started
to decrease. In contrast, internal strain first decreased during the process
and then increased with the increase of milling time. The powder obtained after
20 hours of MA was split into three parts and separately annealed at 300, 500
and 700 oC for 5 hours. A considerable increase was observed in the hardness
value of powder particles with the increase of annealing temperature up to 500
oC. However, the hardness value of the sample annealed at 700 oC decreased. It
seems that this feature is related to parameters such as increase of
crystallite size, enhancement of lattice ordering, change in density of defects
and impurities and nonstoichiometric effects
Morphology and dielectric properties of single sample Ni0.5Zn0.5Fe2O4 nanoparticles prepared via mechanical alloying
Consistent patterns of common species across tropical tree communities
Trees structure the Earth’s most biodiverse ecosystem, tropical forests. The vast number of tree species presents a formidable challenge to understanding these forests, including their response to environmental change, as very little is known about most tropical tree species. A focus on the common species may circumvent this challenge. Here we investigate abundance patterns of common tree species using inventory data on 1,003,805 trees with trunk diameters of at least 10 cm across 1,568 locations1,2,3,4,5,6 in closed-canopy, structurally intact old-growth tropical forests in Africa, Amazonia and Southeast Asia. We estimate that 2.2%, 2.2% and 2.3% of species comprise 50% of the tropical trees in these regions, respectively. Extrapolating across all closed-canopy tropical forests, we estimate that just 1,053 species comprise half of Earth’s 800 billion tropical trees with trunk diameters of at least 10 cm. Despite differing biogeographic, climatic and anthropogenic histories7, we find notably consistent patterns of common species and species abundance distributions across the continents. This suggests that fundamental mechanisms of tree community assembly may apply to all tropical forests. Resampling analyses show that the most common species are likely to belong to a manageable list of known species, enabling targeted efforts to understand their ecology. Although they do not detract from the importance of rare species, our results open new opportunities to understand the world’s most diverse forests, including modelling their response to environmental change, by focusing on the common species that constitute the majority of their trees
Consistent patterns of common species across tropical tree communities
Trees structure the Earth’s most biodiverse ecosystem, tropical forests. The vast number of tree species presents a formidable challenge to understanding these forests, including their response to environmental change, as very little is known about most tropical tree species. A focus on the common species may circumvent this challenge. Here we investigate abundance patterns of common tree species using inventory data on 1,003,805 trees with trunk diameters of at least 10 cm across 1,568 locations1,2,3,4,5,6 in closed-canopy, structurally intact old-growth tropical forests in Africa, Amazonia and Southeast Asia. We estimate that 2.2%, 2.2% and 2.3% of species comprise 50% of the tropical trees in these regions, respectively. Extrapolating across all closed-canopy tropical forests, we estimate that just 1,053 species comprise half of Earth’s 800 billion tropical trees with trunk diameters of at least 10 cm. Despite differing biogeographic, climatic and anthropogenic histories7, we find notably consistent patterns of common species and species abundance distributions across the continents. This suggests that fundamental mechanisms of tree community assembly may apply to all tropical forests. Resampling analyses show that the most common species are likely to belong to a manageable list of known species, enabling targeted efforts to understand their ecology. Although they do not detract from the importance of rare species, our results open new opportunities to understand the world’s most diverse forests, including modelling their response to environmental change, by focusing on the common species that constitute the majority of their trees.Publisher PDFPeer reviewe
