805 research outputs found
Tasawuf Selayang Pandang
Salah satu ajaran dasar dalam agama Islam ialah bahwa manusia tersusun dari dua unsur, unsur roh dan jasad. Sedangkan roh itu berasal dari hadirat Tuhan, wa nafakhtu fihi min ruhi, dan akan kembali kepada Tuhan. Tuhan adalah suci dan roh yang datang dari Tuhan juga suci dan akan dapat kembali ke tempat aslinya di sisi Tuhan kalau ia tetap suci, jika ia menjadi kotor sebab masuk ke dalam manusia yang bersifat materi itu, ia tak akan dapat kembali ke tempat asalnya. Oleh karena itu harus diusahakan supaya roh tetap suci dan manusia menjadi baik. Dalam Islam diajarkan aturan-aturan agar manusia menjadi baik, yakni tersimpul dalam syariat yang mengambil bentuk salat, puasa, zakat, haji, dan ajaran-ajaran mengenai moral atau akhlak Islam. Nabi Saw. mengatakan bahwa beliau datang untuk menyempurnakan budi pekerti luhur, innama bu’itstu liutammima makarim al-akhlaq. \ud
Unsur jasad pada diri manusia selanjutnya disebut unsur materi, yaitu tubuh yang mempunyai hayat, sedangkan unsur roh disebut unsur immateri yaitu berupa jiwa yang mempunyai dua daya; daya berfikir yang disebut akal dan daya merasa yang disebut zauq atau zihn.\ud
Dalam ajaran Islam, seperti diketahui, kedua daya tersebut telah dikembangkan oleh ulama-ulama muslim. Kalau kaum filosof dan juga kaum teolog lebih mengembangkan daya berpikir (akal), maka daya rasa (zauq) lebih dikembangkan oleh kaum sufi.\ud
Perbedaan daya berpikir (akal) menurut kaum filosof dan kaum teolog, bahwa daya berpikir (akal) dalam paham kaum filosof lebih ditekankan kepada kesanggupan menangkap hal-hal yang abstrak murni. Sedangkan kaum teolog mengartikan daya berpikir (akal) sebagai daya untuk menangkap pengetahuan di alam materi dan untuk membedakan antara kebaikan dan kejahatan. \ud
Daya jiwa yang satu lagi yang disebut daya merasa (zauq), dikembangkan oleh kaum sufi. Mereka adalah segolongan umat Islam yang belum merasa puas dengan pendekatan diri kepada Tuhan melalui ibadat-ibadat salat, puasa, zakat, dan haji. Dengan kata lain, hidup spiritual yang diperoleh melalui ibadat biasa belum memuaskan kebutuhan spiritual mereka. Maka mereka mencari jalan yang membawa mereka lebih dekat kepada Tuhan, sehingga mereka merasa dapat melihat Tuhan dengan hati sanubari (bashirah), bahkan bersatu dengan Tuhan. Jalan yang dimaksud tidak lain adalah jalan tasawuf atau yang oleh orang Barat disebut mistisisme Islam ‘Islam mysticism
Kauppakohtaisten tekijöiden vaikutukset kantohintoihin Suomessa
TutkimusselosteSeloste artikkelista: Kolis, K., Hiironen, J., Ärölä, E. & Vitikainen, A. 2014. Effects of sale-specific factors on stumpage prices in Finland. Silva Fennica 48(3), article id 1054
NUR MUHAMMAD DALAM PEMIKIRAN SUFISTIK DATU ABULUNG DI KALIMANTAN SELATAN
Nūr Muhammad adalah satu terma yang penting dalam bidang tasawuf. Tulisan ini adalah hasil penelitian tentang Nūr Muhammad dalam tasawuf perspektif Syeikh Abdul Hamid Abulung, seorang ulama sufi yang hidup di tanah Banjar Kalimantan Selatan pada abad ke-18 Masehi, bertujuan untuk menjelaskan pemahaman Nūr Muhammad dalam ilmu tasawuf Syeikh Abdul Hamid Abulung meliputi konsep, metode, dan pengalaman kerohanian. Kajian ini melibatkan penelitian perpustakaan dan lapangan. Penelitian menemukan bahwa paham Nūr Muhammad dalam perspektif Syeikh Abdul Hamid Abulung bukan sekadar teori kosmologi saja, tetapi sebuah konsep tentang Tuhan dan
hubungannya dengan alam ciptaan-Nya yang apabila dipahami dan diamalkan dengan baik dapat menghantarkan seorang untuk menghampiri Tuhannya. Dalam konsep Nur Muhammad dalam tasawuf Syeikh Abdul Hamid Abulung terdapat sebuah metode yang dikenal sebagai mushāhadah. Mushāhadah diamalkan melalui salat dā‟im dan zikr. Konsep Nūr Muhammad yang diamalkan dengan metode mushāhadah, memungkinkan pengamalnya mendapat pengalaman kerohanian yang tinggi, yaitu kesadaran akan Wujud ke-Maha Esa-an Allah yang tiada wujud selain-Nya. Kesadaran salik yang demikian membolehkannya memasuki alam fanā', baqā', ittihād, dan hulūl. Konsep Nūr Muhammad dalam perspektif Syeikh Abdul Hamid Abulung mengandung teori, metode dan juga pengalaman kerohanian yang luar biasa
WAHDAT AL-ADYAN: MODERASI SUFISTIK ATAS PLURALITAS AGAMA
Perkembangan hubungan antara umat beragama ccenderung kehilangan spirit kemanusiaannya yang universal, berganti dengan semangat kelompok dan individu. Isu agama diangkat untuk keepentingan individu, kelompok, dan kekuasaan. Gagasan tentang pembelaan terhadap Tuhan telah menjadi gagasan yang utopis. Iman kemudian tertuju pada institusi agama, bukan kepada Tuhan. Akhirnya penganut ajaran agama lain dianggap bukan peenyembah Tuhan. Secara bertubi-tubi sikap keagamaan tersebut memicu terjadinya peperangan atas nama agama. Berbagai langkah solutif telah coba diwacanakan. Dikalangan pemikir Islam sufistik, jauh sebelum muncul wacana pluralisme agama, terdapat satu gagasan tentang waḥdat al-adyân atau “kesatuan agama-agama”. Pemikir sufistik waḥdat al-adyân menawarkan satu gagasan moderat yang humanis, dan universal dalam konteks relasi agama-agama, mengandung pesan moral yang terkait secara langsung dengan masalah harmoni kehidupan sosial keagamaan. Universalitas konsep waḥdat al-adyân terdapat pada aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Konsep waḥdat al-adyân dalam tasawuf dipopulerkan oleh dua tokoh sufi ternama, yaitu Husin Mansur al-Ḥallâj (w. 922 M) dan Muhyi al-Din Ibn ‘Arabi wahdat al-wujûd (w. 1240 M). Al-Ḥallâj menggandengkan konsep waḥdat al-adyân dengan hulûl, sedangkan Ibn ‘Arabi. Pemikiran dua sufi tersebut saling melengkapi, al-Ḥallâj sebagai penggagas waḥdat al-adyân sedangkan Ibn ‘Arabi membuat ide-ide al-Ḥallâj menjadi sistematis
The effect of grain size distributions on low-temperature creep in a thin film
Thin films with microcrystalline and nanocrystalline grains are used in MEMS and thin films for electronics. These systems have mechanical properties that depend on the microstructure. Grain size is frequently reported only as mean values or bounds. It has been demonstrated, however, that a mean grain size value is insufficient to describe the microstructure of these materials and the resulting macroscopic mechanical properties. For example, deformation mechanisms at this scale demonstrate sensitivity to grain size, and variations in yield stress, hardness, ductility, and plastic behavior have all been attributed to the varying distributions of grain size in samples with identical average grain sizes. Computational models of crystal plasticity have begun to address these distributions of grain size, utilizing fast Fourier transform-based crystal plasticity models and crystal plasticity finite element models (CPFEMs). In this study, a CPFEM which tracks dislocation density and models the resulting plasticity is extended to include vacancy motion resulting from low-temperature creep. This model is then used to examine the effect of realistic grain size distributions on the creep behavior and postcreep stresses and strains in an electrodeposited nanocrystalline nickel thin film. In addition, the validity and effect of the assumption of homogeneous intragranular stresses, an assumption made in several experimental studies of creep behavior in thin films is examined
Jointly owned forests and forest land consolidation – increasing the stand size in fragmented areas
Private ownership has traditionally been seen as superior to joint ownership. The creation of new jointly owned forests is, nevertheless, seen as an integral part of Finnish forest land consolidation projects. Jointly owned forests are seen as a solution to the increasingly small forest properties, which lead to higher harvest and maintenance costs and lower incen-tives to manage the forest. In this study, a case study of the size of forest stands (compartments) before and a decade after the Pahkakoski land consolidation project is carried out. The stand sizes before and after land consolidation are compared both for areas that only underwent land consolidation, and for areas that were merged into a jointly owned forest. The results show that land consolidation increases the stand sizes, especially for younger stands. For jointly owned forests the increase is larger: for forest land the average stand size increased with between 1 and 1.8 hectares depending on the development class of the forest stand. The results show that land consolidation on its own can increase the stand size, leading to lower management costs, but that jointly owned forests increases this effect considerably. As such, creating jointly owned forests present benefits compared with pure land consolidation through economies of scale
Citadels of Privilege: Exclusionary Land Use Regulations and the Presumption of Constitutional Validity
- …
