Perlindungan Hukum Terhadap Pengguna Pinjaman Online (Pinjol)

Pelambatan perekonomian berdampak pada golongan ekonomi kelas menengah ke bawah dan di saat yang bersamaan menjamurnya penyedia layanan jasa Pinjaman Online (Pinjol). Dalam penagihan utang yang telah jatuh tempo, penyedia layanan jasa Pinjol ilegal kerapkali melakukan ancaman dan intimidasi secara verbal dan non-verbal sehingga membuat Pengguna Pinjol depresi yang tak jarang mengambil jalan pintas bunuh diri. Undang-Undang No. 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagai salah satu instrumen hukum dalam melindungi Pengguna Pinjol harus dapat ditegakkan secara optimas. Dengan adanya UU ini maka perlindungan hukum terhadap Pengguna Pinjol dapat maksimal dari intimidasi maupun dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik data pribadi yang kerapkali digunakan penyedia layanan jasa Pinjol dalam melakukan penagihan. Peran Otorotas Jasa Keuangan (OJK) dalam membuat regulasi baik untuk Pinjol berizin maupun ilegal harus serius dilakukan. Sementara Peran aparat penegak hukum (kepolisian) harus lebih ditingkatkan dalam merespon laporan masyarakat atas adanya intimidasi dan dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik

Penerapan Pasal Pemakzulan dalam Upaya Pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam Masa Jabatan

Presiden sebagai pemegang mandat dari rakyat memiliki kewenangan besar yang diberikan oleh UUD 1945. Sebagai negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial, UUD 1945 mengatur kondisi seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden untuk dapat diberhentikan dalam masa jabatan. UUD 1945 Pasal 7A Pasal 7B, Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2) mengatur Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Jabatan Presiden yang tetap atau pasti jangka waktunya (fix term) hanya dapat diterobos bilamana Presiden dan/atau terbukti melakukan pelanggaran pasal-pasal pemakzulan. Namun upaya melakukan pemakzulan bukan sebuah hal yang mudah. Konfigurasi politik di DPR dalam bentuk koalisi partai-partai yang mendukung pemerintah membuat pengawasan DPR terhadap pemerintah cenderung melemah yang menyisakan sebagian kecil partai oposisi. Sehingga bilamana terjadi situasi Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran terhadap pasal-pasal pemakzulan upaya pemakzulan untuk menegakkan konstitusi akan sulit untuk dilakukan

PENERAPAN KEDAULATAN RAKYAT DI DALAM PEMILIHAN UMUM DI INDONESIA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

ABSTRACTElections are a means of implementing the sovereignty of the people regulated in the 1945 Constitution. In the implementation of indirect democracy, a representative democratic system is inevitable, so that elections that uphold direct, public, free, secret, honest and fair spirit are a means of regenerating leadership politics to run the government both at central and regional levels. People as the owner of the highest sovereignty surrender their sovereignty to state institutions such as the President, DPR, DPD, and DPRD through elections. After the change in the 1945 Constitution there was a shift in the regulation of popular sovereignty such as the MPR is no longer the executor of popular sovereignty, the implementation of direct presidential elections by the people, until the emergence of the Constitutional Court that can try and decide the president and vice president to stop in his term of office. All of this is an effort to uphold the people's sovereignty and at the same time to maintain the people's sovereignty based on the 1945 Constitution. Keywords: People's Sovereignty, Elections, 1945 Constitutio

Mémo aide à la désignation et à la prise de fonction des référents à l\u27intégrité scientifique

Ce mémo a pour objectif d’aider les opérateurs de recherche pour la désignation de leur référent à l’intégrité scientifique (RIS), et les RIS pour leur prise de fonction. Sous forme de questions/réponses ou de recommandations, délibérément rédigées de manière simple et succincte, il vise à rendre aisément accessibles les dispositions applicables et les conseils de bonnes pratiques

Serment doctoral d\u27intégrité scientifique : dossier documentaire

Le serment doctoral d\u27intégrité scientifique a intégré la loi n° 2020-1674 du 24 décembre 2020 de programmation de la recherche (dite « LPR ») par l\u27adoption d\u27un amendement au Sénat le 29 octobre 2020, proposé par MM. Ouzoulias et Bacchi, Mme Brulin et les membres du groupe communiste républicain citoyen et écologiste : « Le présent amendement a un double objet : Renforcer la solennité des soutenances de thèse en associant à la délivrance du titre de docteur une passation de serment inscrivant symboliquement le jeune docteur au sein de la communauté scientifique. Par ailleurs, cet amendement vient renforcer la diffusion des principes de l’intégrité scientifique qui seront au cœur du serment que prêtera le docteur nouvellement diplômé.

Intégrité scientifique, comment agir dans votre unité

L’intégrité scientifique est au cœur de la recherche, elle est donc au cœur de la vie des unités de recherche. En tant que directrice ou directeur d’unité de recherche (DU), vous avez un rôle clé à jouer pour assurer à l’ensemble du personnel de recherche les conditions d’une culture commune des bonnes pratiques. Pour la qualité de la science, mais aussi pour le bon fonctionnement de votre collectif de recherche et la réputation de votre unité. Cette « boîte à outils » vise à vous accompagner dans ce rôle, dans une démarche d’incitation aux bonnes pratiques, de maintien d’un environnement propice au respect des exigences de l’intégrité scientifique et de bonne prise en charge des problèmes quand ils surviennent. Elle est conçue comme un kit, à composer avec les pièces qui répondent le plus à vos besoins

Serment doctoral d\u27intégrité scientifique : fiche pratique

En application de l\u27article L612-7 du code de l\u27éducation, les établissements d’enseignement supérieur et de recherche mettent en œuvre, dans le cadre des soutenances de leurs doctorantes et doctorants, une prestation de serment d’intégrité scientifique. Cette disposition est inscrite dans l\u27article 19bis de l\u27arrêté de la formation doctorale (évolution introduite par l\u27arrêté du 26 août 2022 modifiant l\u27arrêté du 25 mai 2016). L\u27existence du serment induit également une modification des chartes du doctorat qui doivent l\u27y faire figurer (article 12 de l\u27arrêté de la formation doctorale)

Kewenangan Konstitusional Mahkamah Konstitusi Dalam Memutus Sengketa Hasil Pemilu Dan Pilkada Serentak

Decision of the Constitutional Court Number 14/PUU-XI/2013 provides legal implications for the implementation of elections (elections for DPR, DPD, President and Vice President, and DPRD members). The election for members of the representative body which was previously held earlier than the election for the president and vice president, based on this decision of the constitutional court, the election for members of the representative body and the election for president and vice president will be held concurrently. The concurrent elections and local elections which will be held in 2024 have the potential to cause disputes over the results which will lead to the resolution of disputes over election results at the Constitutional Court. With the constitutional authority possessed by the Constitutional Court, the Constitutional Court is required to be able to resolve disputes over election and local election results in order to maintain elections and local elections that are direct, general, free, secret, honest and fair as mandated by the 1945 Constitution